Pandangan
NU dan Muhammadiyah dalam mensikapi keindonesiaan adalah sama. Dua organisasi
massa Islam terbesar di Indonesia inilah yang turut memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dan mendesain dasar-dasar negaranya berupa Pancasila dan UUD 1945, Demikian
dikatakan oleh KH Hasyim Muzadi dalam pertemuan dengan angkatan muda NU dan
Muhammadiyah, yang terdiri dari para pengurus Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Remaja
Muhammadiyah (IRM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Jum’at (16/5) di
Gd. PBNU.
Latar
belakang sejarah inilah yang membedakan dengan organisasi Islam lainnya yang
datang belakangan setelah munculnya reformasi seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul
Muslimin, MMI, jaulah dan lainnya yang memperjuangkan khilafah
Islamiyah, Islamisasi negara dan lainnya.
“Mereka
tak tahu menahu, Indonesia membangunnya seperti apa, mereka anti Pancasila.
Hizbut Tahrir mau membongkar Indonesia menjadi khilafah, khalifahnya
siapa, strukturnya seperti siapa, prosesnya seperti apa, katakan dong, kan
tidak dikatakan karena memang tidak bisa,” katanya.Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al
Hikam Malang ini berpendapat penerimaan NU dan Muhammadiyah atas Pancasila dan
UUD 1945 ini didasari upaya menjaga pluralitas bangsa sehingga tidak
menimbulkan gejolak.
“Kita
ingin NU dan Muhammadiyah satu sehingga Indonesia bisa dipimpin. Kalau bisa
dipimpin, proses dakwah ini merata di seluruh areal Indonesia. Bukan pada
suku-suku tertentu saja,” tandasnya.Jadi, terdapat pertimbangan dakwah yang
mendalam dan berjangka panjang dalam mengislamkan Indonesia yang tidak disadari
oleh ormas Islam yang datang belakangan. “Kalau dipaksakan pakai Qur’an dan
hadist, maka akan terjadi perpecahan republik. Kalau itu terjadi maka yang
paling dirugikan umat Islam, karena dia tidak bisa mimpin teritori ini,”
paparnya.
Hal
ini telah terbukti, upaya penerbitan perda syariah di Tangerang untuk melarang
pelacuran dan perjudian ditanggapi oleh Pemda Manokwari dengan menerbitkan
Perda Injil. Jika ini terus dibiarkan nanti ada perda Hindu, Perda klenik dan
lainnya, padahal isi perda tersebut sama dengan KUHP yang berisi larangan
pelacuran dan perjudian. “Tapi mereka merasa hebat karena pendatang baru,
karena dia tak tahu bagaimana dulu memperjuangkannya,” tandasnya.
Meskipun
demikian, umat Islam juga meminta jaminan agar syariat Islam terlindungi dan
nilai-nilai Islam terserap dalam nilai bangsa. “Maka dari itu di Pancasila ada
Ketuhanan yang Maha Esa, ada Mukaddimah UUD 1945 yang menjadi cerminan
nilai-nilai Islam,” tambahnya.
Berkembangnya
agama lain di Indonesia dinilai oleh Kiai Hasyim karena faktor Pancasila dan
dasar negaranya, tetapi kesalahan umat Islam sendiri yang kurang memberi perhatian
pada ummatnya.
Muhammadiyah dan Kegelisahan Kaum Muda
Apakah yang tidak dimiliki
Muhammadiyah? Itulah pertanyaan budayawan Mohamad Sobary tahun 1990 silam, yang
kemudian ia jawab sendiri dengan mengatakan, “persyarikatan yang didirikan KH
Ahmad Dahlan pada tahun 1912 itu sudah memiliki hampir segalanya: Kewibawaan,
kebesaran, popularitas dan prestasi. Selebihnya, ini yang terpenting, amal saleh
yang tak mungkin tak terekam dalam disket Allah.” (Muhammadiyah dalam Sorotan,
1990: 236)
Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan saat ini, pada saat Muhammadiyah memasuki usia satu abad. Dan jawaban yang sama juga bisa kita kemukakan saat ini karena selama satu-dua dekade terakhir Muhammadiyah terus bergerak searah dengan perkembangan zaman.
Artinya, salah satu keistimewaan yang dimiliki Muhammadiyah adalah konsistensi dalam menjaga kewibawaan, kebesaran, popularitas, prestasi, dan amal saleh. Sejauh yang saya amati belum ada organisasi massa Islam besar yang bisa berjalan konsisten seperti Muhammadiyah di tengah godaan politik dan kekuasaan yang dahsyat, terutama pascagerakan reformasi.
Sejak didirikannya hingga saat ini, Muhammadiyah tetap konsisten melakukan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk pada kekuasaan. Seruan-seruan moral yang diajukan tokoh-tokoh agama yang belakangan ini bergema, sumber utamanya dari Jalan Raya Menteng Raya No. 62, markas Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada saat masyarakat menjerit soal tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dari markas yang sama didengungkan perlunya mengembalikan energi untuk kepentingan rakyat. Maka Muhammadiyah memelopori judicial review (peninjauan ulang) atau bahkan penghapusan Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Gunanya agar semua cadangan energi nasional tidak dikuasai asing (negara lain) dan dikembalikan fungsinya sesuai UUD 1945.
Itulah peran di bidang politik dan penyelamatan energi, di bidang-bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan yang menjadi aksentuasi program gerakan Muhammadiyah tentu masih tetap berada di garda terdepan walau belakangan ini --pada era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2—peran di kedua sektor ini seolah diabaikan pemerintah dengan cara mengeliminasi peran-peran konstruktifnya baik di Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Kesehatan.
Selain di kedua sektor tadi, pemerintah juga kerap bertindak tidak proporsional terhadap peran-peran Muhammadiyah lantaran kritik-kritik tajam yang sering dilontarkannya. Tapi, percayalah, hal itu tidak akan mengurangi peranan Muhammadiyah dalam ikut serta memajukan bangsa ini. Usia Muhammadiyah jauh lebih tua dari Republik, dan peranan Muhammadiyah tidak akan mengecil hanya lantaran diabaikan oleh satu periode kepemimpinan pemerintah yang menguasai Republik ini.
Kalau pun kita nilai ada yang kurang dari Muhammadiyah, maka itu adalah peran sertanya dalam menjawab kegelisahan anak-anak muda saat ini yang semakin lantang menyuarakan perubahan. Semangat korektif yang banyak disuarakan Muhammadiyah belum menyentuh aspek penyiapan generasi muda dalam mengisi kekosongan kepemimpinan politik yang berkarakter baik di lembaga legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Padahal ketiga aspek inilah yang menjadi jantung penggerak setiap perubahan dan pembaruan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Peranan Muhammadiyah, menurut saya, tidak cukup hanya dengan amar ma’ruf nahi munkar, dalam arti kuratif dengan cara mengoreksi atau meluruskan jalannya pemerintahan yang dinilai melenceng dari amanat dan harapan rakyat. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana agar Muhammadiyah juga ikut menyiapkan kader-kader muda yang berkarakter, yang memiliki cita-cita luhur agar bisa berpartisipasi aktif dalam menjalankan roda kepemimpinan nasional.
Muhammadiyah memang bukan partai politik yang secara kelembagaan punya tugas pokok menyiapkan kader-kader bangsa untuk mengisi kepemimpinan nasional, namun demikian, tidak ada salahnya jika Muhammadiyah ikut terlibat aktif dalam sektor yang amat strategis ini. Muhammadiyah bisa mendidik dan menyiapkan kader-kadernya yang baik, dan menitipkan mereka pada partai politik yang dari segi visi, misi, dan platformnya tidak melenceng terlalu jauh dari visi, misi, dan khitah Muhammadiyah.
Kita menyadari, salah satu problem besar yang kita hadapi saat ini adalah regenerasi kepemimpinan politik nasional yang tampaknya masih belum bisa berjalan secara proporsional. Hal ini tercermin, misalnya, dari berbagai survei yang sudah dirilis secara terbuka, dri sederetan nama calon pemimpin nasional (terutama Presiden dan Wakil Presiden) yang bermunculan, hampir seratus persen diisi kaum tua yang sejak lima atau sepuluh tahun lalu sebagian sudah diajukan sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Kita tidak sedang mendikotomikan tua-muda, tetapi alangkah baiknya jika dalam proses regenerasi kepemimpinan nasional kita mengikuti hukum alam yang terus berputar sepanjang zaman.
Bisa jadi, dominasi kaum tua itu disebabkan kesalahan generasi muda sendiri, yakni karena: pertama, beberapa tokoh politisi muda yang sudah muncul di permukaan pada umumnya tidak imun atau bahkan terlibat secara langsung dengan skandal-skandal politik yang memalukan.
Kedua, karena generasi muda tidak cukup siap bersaing dengan generasi tua dalam memperebutkan kepemimpinan di tingkat partai politik; dan ketiga, secara generik anak-anak muda memang dianggap belum cukup siap menjadi pemimpin.
Ketiga penyebab ini bisa benar bisa juga tidak. Yang pasti, ketiadaan tokoh muda yang tampil menjadi calon pemimpin nasional (diakui atau tidak) memunculkan kegelisahan yang cukup dalam di kalangan anak-anak muda. Kegelisahan yang apabila dibarkan berkembang akan memberi dampak yang destruktif, baik bagi individu anak-anak mudanya sendiri maupun bagi lingkungan sosial dan bangsanya.
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang mumpuni bisa berperan aktif dalam menanggulangi kekurangan generasi muda itu dengan cara: (1) menyiapkan generasi muda yang berkarakter, yang imun terhadap godaan-godaan scandalous yang belakangan ini banyak menimpa para politisi termasuk kalangan muda; (2) memasok kader-kader terbaiknya dalam berbagai partai politik yang sesuai dengan harapan masyarakat; dan (3) membekali generasi muda dengan modal kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dengan ketiga program ini, jika dijalankan secara sistemik dan berkelanjutan, besar harapan kita, regenerasi kepemimpinan nasional akan bisa berjalan secara baik, proporsional, dan objektif. Dan pada gilirannya, upaya-upaya apa pun yang berusaha untuk menghambat proses ini akan gagal di tengah jalan. Karena di tengah-tengah masyarakat sudah dipenuhi kader-kader yang berkarakter, yang siap mengisi dan memperbaiki setiap ruang kepemimpinan politik nasional, terutama yang rentan korupsi dan rentan manipulasi.
Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan saat ini, pada saat Muhammadiyah memasuki usia satu abad. Dan jawaban yang sama juga bisa kita kemukakan saat ini karena selama satu-dua dekade terakhir Muhammadiyah terus bergerak searah dengan perkembangan zaman.
Artinya, salah satu keistimewaan yang dimiliki Muhammadiyah adalah konsistensi dalam menjaga kewibawaan, kebesaran, popularitas, prestasi, dan amal saleh. Sejauh yang saya amati belum ada organisasi massa Islam besar yang bisa berjalan konsisten seperti Muhammadiyah di tengah godaan politik dan kekuasaan yang dahsyat, terutama pascagerakan reformasi.
Sejak didirikannya hingga saat ini, Muhammadiyah tetap konsisten melakukan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk pada kekuasaan. Seruan-seruan moral yang diajukan tokoh-tokoh agama yang belakangan ini bergema, sumber utamanya dari Jalan Raya Menteng Raya No. 62, markas Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada saat masyarakat menjerit soal tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dari markas yang sama didengungkan perlunya mengembalikan energi untuk kepentingan rakyat. Maka Muhammadiyah memelopori judicial review (peninjauan ulang) atau bahkan penghapusan Undang-Undang Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Gunanya agar semua cadangan energi nasional tidak dikuasai asing (negara lain) dan dikembalikan fungsinya sesuai UUD 1945.
Itulah peran di bidang politik dan penyelamatan energi, di bidang-bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan yang menjadi aksentuasi program gerakan Muhammadiyah tentu masih tetap berada di garda terdepan walau belakangan ini --pada era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2—peran di kedua sektor ini seolah diabaikan pemerintah dengan cara mengeliminasi peran-peran konstruktifnya baik di Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Kesehatan.
Selain di kedua sektor tadi, pemerintah juga kerap bertindak tidak proporsional terhadap peran-peran Muhammadiyah lantaran kritik-kritik tajam yang sering dilontarkannya. Tapi, percayalah, hal itu tidak akan mengurangi peranan Muhammadiyah dalam ikut serta memajukan bangsa ini. Usia Muhammadiyah jauh lebih tua dari Republik, dan peranan Muhammadiyah tidak akan mengecil hanya lantaran diabaikan oleh satu periode kepemimpinan pemerintah yang menguasai Republik ini.
Kalau pun kita nilai ada yang kurang dari Muhammadiyah, maka itu adalah peran sertanya dalam menjawab kegelisahan anak-anak muda saat ini yang semakin lantang menyuarakan perubahan. Semangat korektif yang banyak disuarakan Muhammadiyah belum menyentuh aspek penyiapan generasi muda dalam mengisi kekosongan kepemimpinan politik yang berkarakter baik di lembaga legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Padahal ketiga aspek inilah yang menjadi jantung penggerak setiap perubahan dan pembaruan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Peranan Muhammadiyah, menurut saya, tidak cukup hanya dengan amar ma’ruf nahi munkar, dalam arti kuratif dengan cara mengoreksi atau meluruskan jalannya pemerintahan yang dinilai melenceng dari amanat dan harapan rakyat. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana agar Muhammadiyah juga ikut menyiapkan kader-kader muda yang berkarakter, yang memiliki cita-cita luhur agar bisa berpartisipasi aktif dalam menjalankan roda kepemimpinan nasional.
Muhammadiyah memang bukan partai politik yang secara kelembagaan punya tugas pokok menyiapkan kader-kader bangsa untuk mengisi kepemimpinan nasional, namun demikian, tidak ada salahnya jika Muhammadiyah ikut terlibat aktif dalam sektor yang amat strategis ini. Muhammadiyah bisa mendidik dan menyiapkan kader-kadernya yang baik, dan menitipkan mereka pada partai politik yang dari segi visi, misi, dan platformnya tidak melenceng terlalu jauh dari visi, misi, dan khitah Muhammadiyah.
Kita menyadari, salah satu problem besar yang kita hadapi saat ini adalah regenerasi kepemimpinan politik nasional yang tampaknya masih belum bisa berjalan secara proporsional. Hal ini tercermin, misalnya, dari berbagai survei yang sudah dirilis secara terbuka, dri sederetan nama calon pemimpin nasional (terutama Presiden dan Wakil Presiden) yang bermunculan, hampir seratus persen diisi kaum tua yang sejak lima atau sepuluh tahun lalu sebagian sudah diajukan sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Kita tidak sedang mendikotomikan tua-muda, tetapi alangkah baiknya jika dalam proses regenerasi kepemimpinan nasional kita mengikuti hukum alam yang terus berputar sepanjang zaman.
Bisa jadi, dominasi kaum tua itu disebabkan kesalahan generasi muda sendiri, yakni karena: pertama, beberapa tokoh politisi muda yang sudah muncul di permukaan pada umumnya tidak imun atau bahkan terlibat secara langsung dengan skandal-skandal politik yang memalukan.
Kedua, karena generasi muda tidak cukup siap bersaing dengan generasi tua dalam memperebutkan kepemimpinan di tingkat partai politik; dan ketiga, secara generik anak-anak muda memang dianggap belum cukup siap menjadi pemimpin.
Ketiga penyebab ini bisa benar bisa juga tidak. Yang pasti, ketiadaan tokoh muda yang tampil menjadi calon pemimpin nasional (diakui atau tidak) memunculkan kegelisahan yang cukup dalam di kalangan anak-anak muda. Kegelisahan yang apabila dibarkan berkembang akan memberi dampak yang destruktif, baik bagi individu anak-anak mudanya sendiri maupun bagi lingkungan sosial dan bangsanya.
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang mumpuni bisa berperan aktif dalam menanggulangi kekurangan generasi muda itu dengan cara: (1) menyiapkan generasi muda yang berkarakter, yang imun terhadap godaan-godaan scandalous yang belakangan ini banyak menimpa para politisi termasuk kalangan muda; (2) memasok kader-kader terbaiknya dalam berbagai partai politik yang sesuai dengan harapan masyarakat; dan (3) membekali generasi muda dengan modal kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dengan ketiga program ini, jika dijalankan secara sistemik dan berkelanjutan, besar harapan kita, regenerasi kepemimpinan nasional akan bisa berjalan secara baik, proporsional, dan objektif. Dan pada gilirannya, upaya-upaya apa pun yang berusaha untuk menghambat proses ini akan gagal di tengah jalan. Karena di tengah-tengah masyarakat sudah dipenuhi kader-kader yang berkarakter, yang siap mengisi dan memperbaiki setiap ruang kepemimpinan politik nasional, terutama yang rentan korupsi dan rentan manipulasi.
Muhammadiyah dan
Keindonesiaan
Seputar Indonesia, Wednesday, 17 November 2010
Sungguh keliru jika menganggap Muhammadiyah tak memiliki sense of nationalism. Muhammadiyah lahir 33 tahun sebelum negeri ini terbentuk. Sejak berdiri pada 18 November 1912, Muhammadiyah sudah mengusung visi persatuan bagi kaum bumiputra.
Selama 33 tahun, jauh sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah sudah turut andil menggagas konsep persatuan bangsa yang merdeka dan bermartabat. Bahkan, sejak tahun 1925, organisasi ini telah mengenalkan istilah ”Indonesia” untuk mengganti nama ”Hindia-Belanda.” Tetapi memang di kalangan warga Muhammadiyah sendiri muncul fenomena ahistoris terhadap sejarahnya sendiri, sehingga seakan-akan organisasi ini tampak independen, tak bersentuhan langsung dengan proses membangun nasionalisme keindonesiaan.
Persatuan Bumiputra
Sejak Boedi Oetomo berdiri 20 Mei 1908,KH Ahmad Dahlan sudah tergerak untuk membentuk sebuah perkumpulan yang bercitacita menyatukan umat Islam bumiputra. Boedi Oetomo adalah organisasi bumiputra pertama yang mengusung nasionalisme, sekalipun ruang lingkupnya masih terbatas (Jawa dan Madura).Atas jasa Mas Djojosoemarto, pendiri Muhammadiyah ini bergabung dalam organisasi intelektual bumiputra pertama yang mengusung nasionalisme tersebut.
Di mata KH Ahmad Dahlan, ikhtiar Boedi Oetomo memajukan kaum bumiputra menggunakan jalur pengajaran memang cukup mengesankan. Akan tetapi, pendiri Muhammadiyah ini menghendaki sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih luas, yaitu umat Islam di antero Hindia-Belanda.Pada 1911,dalam pertemuan di Langgar Duwur,KH Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya mendiskusikan rencana pembentukan perkumpulan yang di kemudian hari dikenal dengan nama Muhammadiyah. Nama gerakan ini pertama kali diusulkan oleh Kiai Sangidu.
Pada akhir Desember 1912, perkumpulan ini dideklarasikan di Loodgebow Malioboro (sekarang Gedung DPRD DIY). Dalam artikel ”Tali Pengikat Hidup Manusia” (Album Muhammadiyah Tahun 1923), KH Ahmad Dahlan menyadari akan pentingnya persatuan umat manusia. Menurutnya, latar belakang persatuan manusia disebabkan dua faktor, yaitu persamaan sebagai keturunan Nabi Adam dan kebersamaan sebagai makhluk yang hidup di dunia.
Sebagai keturunan Nabi Adam,sesungguhnya semua manusia sedarah dan sedaging. Sebagai makhluk yang hidup di dunia, sesungguhnya setiap manusia butuh kebersamaan dengan yang lain. Dua faktor fundamental inilah yang mengikat manusia untuk hidup bersatu dalam kebersamaan harmonis. Persatuan manusia, khususnya kaum bumiputra, merupakan gagasan utama KH Ahmad Dahlan dalam upaya meraih hidup merdeka dan bermartabat. Dokumen Soewara Moehammadijah No 1 Tahun 1922 memuat sebuah artikel penting dengan judul ”Kamardikan”.
Artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa-Melayu dan mengulas makna ”kebebasan manusia” ini dimuat beberapa bulan sebelum KH Ahmad Dahlan meninggal dunia (Jumat 23 Februari 1923). Gagasan ”kamardikan” (kemerdekaan) di sini memang belum mengisyaratkan arti kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Sebab, gagasan ini memang ditujukan kepada individu-individu (pembaca Soewara Moehammadijah) agar menyadari bahwa kolonialisme Belanda telah merenggut makna kemerdekaan hakiki yang dimiliki setiap orang.
Dengan demikian, kemerdekaan di sini baru sebatas kebebasan tiap individu untuk hidup mandiri secara bermartabat. Namun, gagasan ini cukup efektif untuk mempengaruhi kesadaran kolektif kaum bumiputra sebagai kelompok manusia dalam jumlah besar agar dapat hidup merdeka dan bermartabat. Proses ini jelas membutuhkan waktu yang cukup lama.Tapi jika kesadaran ini telah terbentuk, kaum bumiputra akan bangkit untuk merebut kembali kehidupan yang merdeka dan bermartabat.
Gagasan Nasionalisme
Dalam proses menuju kemerdekaan, sebuah bangsa akan terus melakukan proses identifikasi diri. Sebuah dokumen penting cukup menyadarkan warga Muhammadiyah, bahwa sejak awal 1925,pada cover Soeara Moehammadijah (bandingkan dengan ejaan dokumen tahun 1922) No 1 Tahun 1925 telah menggunakan istilah ”Indonesia” untuk mengganti nama ”Hindia-Belanda.”Tokoh yang memiliki andil besar dalam penggunaan istilah baru ini adalah Soemodirdjo, kepala redaksi (hoofdredacteur) Soeara Moehammadijah pascakepemimpinan Haji Fachrodin (1922-1924).
Soemodirdjo memang telah mengenalkan istilah Indonesia untuk mengganti nama Hindia-Belanda. Dia juga telah menulis sebuah artikel penting dengan judul, ”Anak Indonesia,Awas” (No 1 Tahun 1925).Tapi penggunaan istilah baru ini memang belum konsisten dalam penerbitan Soeara Moehammadijah tahun 1925. Sebab, beberapa artikel di dalam majalah ini masih sering menggunakan istilah Hindia-Belanda atau Hindia-Nederland. Tapi, Soemodirdjo telah mengawali proses identifikasi bangsa ini dengan menggunakan nama yang kemudian dikukuhkan dalam momentum Sumpah Pemuda pada 1928.
Memasukiperiodekepemimpinan KH Mas Mansur (1938–1940), Muhammadiyah melakukan langkah- langkah strategis yang cukup mendukung bagi proses pembentukan nasionalisme keindonesiaan. KH Mas Mansur tegas menentang kebijakan Ordonansi Guru dan pencatatan perkawinan oleh pemerintah Belanda. Pada 1937, lewat kongres XXVI,Muhammadiyah mencanangkan program perbaikan ekonomi bagi kaum bu-miputra. Lewat kebijakan ini,KH Mas Mansur menghendaki agar bangsa Indonesia kuat dan mandiri secara ekonomi.
Di bawah kepemimpinan KH Mas Mansur pula,Muhammadiyah menentang kebijakan Ordonansi Sidang dan mengganti semua istilah Hindia-Belanda dengan bahasa Indonesia (Melayu).Pada kongres XXVIII di Medan (1939),sekitar 11 tahun pasca-Sumpah Pemuda (1928), Muhammadiyah mendukung gerakan kebangkitan nasional yang dipelopori kaum muda di Tanah Air dalam menggunakan bahasa nasional.
Menjelangkemerdekaan(1942), Muhammadiyah kembali memainkan peran aktif dalam politik kebangsaan, khususnya pada periode kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo, adik kandung Haji Fachrodin (pahlawan nasional).Peran Ki Bagus Hadikusuma dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) cukup besar ketika merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD).
Pada mulanya,Ki Bagus Ha-dikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara.Menurut HS Prodjokusumo (1983), peran Mr Kasman Singodimejo, juga tokoh Muhammadiyah, sangat besar dalam membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa. Sejak tahun 1908 atau sekitar 37 tahun sebelum bangsa ini mengenal konsep nasionalisme keindonesiaan, KH Ahmad Dahlan telah menggagas perkumpulan yang akan menyatukan umat Islam setelah dia bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo.
Sejak tahun 1925 atau sekitar 85 tahun sebelum bangsa ini mengidentifikasi dirinya, Muhammadiyah sudah menggunakan istilah Indonesia untuk mengganti nama Hindia-Belanda. Secara resmi, berdasarkan keputusan Kongres XXVIII di Medan (1939), Muhammadiyah telah mendukung gerakan kebangkitan nasional.
Bahkan,dalam proses kemerdekaan Indonesia,Muhammadiyah telah melibatkan dua tokohnya memperjuangkan rumusan Dasar Negara Republik Indonesia. Sampai sejauh ini, jika masih ada pendapat bahwa Muhammadiyah tidak turut andil dalam proses membangun nasionalisme keindonesiaan, maka itu suatu penilaian yang ahistoris. Jika warga Muhammadiyah sendiri tak memiliki sense of nationalism,maka itu suatu gejala amnesia sejarah!(*)
Sungguh keliru jika menganggap Muhammadiyah tak memiliki sense of nationalism. Muhammadiyah lahir 33 tahun sebelum negeri ini terbentuk. Sejak berdiri pada 18 November 1912, Muhammadiyah sudah mengusung visi persatuan bagi kaum bumiputra.
Selama 33 tahun, jauh sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah sudah turut andil menggagas konsep persatuan bangsa yang merdeka dan bermartabat. Bahkan, sejak tahun 1925, organisasi ini telah mengenalkan istilah ”Indonesia” untuk mengganti nama ”Hindia-Belanda.” Tetapi memang di kalangan warga Muhammadiyah sendiri muncul fenomena ahistoris terhadap sejarahnya sendiri, sehingga seakan-akan organisasi ini tampak independen, tak bersentuhan langsung dengan proses membangun nasionalisme keindonesiaan.
Persatuan Bumiputra
Sejak Boedi Oetomo berdiri 20 Mei 1908,KH Ahmad Dahlan sudah tergerak untuk membentuk sebuah perkumpulan yang bercitacita menyatukan umat Islam bumiputra. Boedi Oetomo adalah organisasi bumiputra pertama yang mengusung nasionalisme, sekalipun ruang lingkupnya masih terbatas (Jawa dan Madura).Atas jasa Mas Djojosoemarto, pendiri Muhammadiyah ini bergabung dalam organisasi intelektual bumiputra pertama yang mengusung nasionalisme tersebut.
Di mata KH Ahmad Dahlan, ikhtiar Boedi Oetomo memajukan kaum bumiputra menggunakan jalur pengajaran memang cukup mengesankan. Akan tetapi, pendiri Muhammadiyah ini menghendaki sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih luas, yaitu umat Islam di antero Hindia-Belanda.Pada 1911,dalam pertemuan di Langgar Duwur,KH Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya mendiskusikan rencana pembentukan perkumpulan yang di kemudian hari dikenal dengan nama Muhammadiyah. Nama gerakan ini pertama kali diusulkan oleh Kiai Sangidu.
Pada akhir Desember 1912, perkumpulan ini dideklarasikan di Loodgebow Malioboro (sekarang Gedung DPRD DIY). Dalam artikel ”Tali Pengikat Hidup Manusia” (Album Muhammadiyah Tahun 1923), KH Ahmad Dahlan menyadari akan pentingnya persatuan umat manusia. Menurutnya, latar belakang persatuan manusia disebabkan dua faktor, yaitu persamaan sebagai keturunan Nabi Adam dan kebersamaan sebagai makhluk yang hidup di dunia.
Sebagai keturunan Nabi Adam,sesungguhnya semua manusia sedarah dan sedaging. Sebagai makhluk yang hidup di dunia, sesungguhnya setiap manusia butuh kebersamaan dengan yang lain. Dua faktor fundamental inilah yang mengikat manusia untuk hidup bersatu dalam kebersamaan harmonis. Persatuan manusia, khususnya kaum bumiputra, merupakan gagasan utama KH Ahmad Dahlan dalam upaya meraih hidup merdeka dan bermartabat. Dokumen Soewara Moehammadijah No 1 Tahun 1922 memuat sebuah artikel penting dengan judul ”Kamardikan”.
Artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa-Melayu dan mengulas makna ”kebebasan manusia” ini dimuat beberapa bulan sebelum KH Ahmad Dahlan meninggal dunia (Jumat 23 Februari 1923). Gagasan ”kamardikan” (kemerdekaan) di sini memang belum mengisyaratkan arti kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Sebab, gagasan ini memang ditujukan kepada individu-individu (pembaca Soewara Moehammadijah) agar menyadari bahwa kolonialisme Belanda telah merenggut makna kemerdekaan hakiki yang dimiliki setiap orang.
Dengan demikian, kemerdekaan di sini baru sebatas kebebasan tiap individu untuk hidup mandiri secara bermartabat. Namun, gagasan ini cukup efektif untuk mempengaruhi kesadaran kolektif kaum bumiputra sebagai kelompok manusia dalam jumlah besar agar dapat hidup merdeka dan bermartabat. Proses ini jelas membutuhkan waktu yang cukup lama.Tapi jika kesadaran ini telah terbentuk, kaum bumiputra akan bangkit untuk merebut kembali kehidupan yang merdeka dan bermartabat.
Gagasan Nasionalisme
Dalam proses menuju kemerdekaan, sebuah bangsa akan terus melakukan proses identifikasi diri. Sebuah dokumen penting cukup menyadarkan warga Muhammadiyah, bahwa sejak awal 1925,pada cover Soeara Moehammadijah (bandingkan dengan ejaan dokumen tahun 1922) No 1 Tahun 1925 telah menggunakan istilah ”Indonesia” untuk mengganti nama ”Hindia-Belanda.”Tokoh yang memiliki andil besar dalam penggunaan istilah baru ini adalah Soemodirdjo, kepala redaksi (hoofdredacteur) Soeara Moehammadijah pascakepemimpinan Haji Fachrodin (1922-1924).
Soemodirdjo memang telah mengenalkan istilah Indonesia untuk mengganti nama Hindia-Belanda. Dia juga telah menulis sebuah artikel penting dengan judul, ”Anak Indonesia,Awas” (No 1 Tahun 1925).Tapi penggunaan istilah baru ini memang belum konsisten dalam penerbitan Soeara Moehammadijah tahun 1925. Sebab, beberapa artikel di dalam majalah ini masih sering menggunakan istilah Hindia-Belanda atau Hindia-Nederland. Tapi, Soemodirdjo telah mengawali proses identifikasi bangsa ini dengan menggunakan nama yang kemudian dikukuhkan dalam momentum Sumpah Pemuda pada 1928.
Memasukiperiodekepemimpinan KH Mas Mansur (1938–1940), Muhammadiyah melakukan langkah- langkah strategis yang cukup mendukung bagi proses pembentukan nasionalisme keindonesiaan. KH Mas Mansur tegas menentang kebijakan Ordonansi Guru dan pencatatan perkawinan oleh pemerintah Belanda. Pada 1937, lewat kongres XXVI,Muhammadiyah mencanangkan program perbaikan ekonomi bagi kaum bu-miputra. Lewat kebijakan ini,KH Mas Mansur menghendaki agar bangsa Indonesia kuat dan mandiri secara ekonomi.
Di bawah kepemimpinan KH Mas Mansur pula,Muhammadiyah menentang kebijakan Ordonansi Sidang dan mengganti semua istilah Hindia-Belanda dengan bahasa Indonesia (Melayu).Pada kongres XXVIII di Medan (1939),sekitar 11 tahun pasca-Sumpah Pemuda (1928), Muhammadiyah mendukung gerakan kebangkitan nasional yang dipelopori kaum muda di Tanah Air dalam menggunakan bahasa nasional.
Menjelangkemerdekaan(1942), Muhammadiyah kembali memainkan peran aktif dalam politik kebangsaan, khususnya pada periode kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo, adik kandung Haji Fachrodin (pahlawan nasional).Peran Ki Bagus Hadikusuma dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) cukup besar ketika merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD).
Pada mulanya,Ki Bagus Ha-dikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara.Menurut HS Prodjokusumo (1983), peran Mr Kasman Singodimejo, juga tokoh Muhammadiyah, sangat besar dalam membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa. Sejak tahun 1908 atau sekitar 37 tahun sebelum bangsa ini mengenal konsep nasionalisme keindonesiaan, KH Ahmad Dahlan telah menggagas perkumpulan yang akan menyatukan umat Islam setelah dia bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo.
Sejak tahun 1925 atau sekitar 85 tahun sebelum bangsa ini mengidentifikasi dirinya, Muhammadiyah sudah menggunakan istilah Indonesia untuk mengganti nama Hindia-Belanda. Secara resmi, berdasarkan keputusan Kongres XXVIII di Medan (1939), Muhammadiyah telah mendukung gerakan kebangkitan nasional.
Bahkan,dalam proses kemerdekaan Indonesia,Muhammadiyah telah melibatkan dua tokohnya memperjuangkan rumusan Dasar Negara Republik Indonesia. Sampai sejauh ini, jika masih ada pendapat bahwa Muhammadiyah tidak turut andil dalam proses membangun nasionalisme keindonesiaan, maka itu suatu penilaian yang ahistoris. Jika warga Muhammadiyah sendiri tak memiliki sense of nationalism,maka itu suatu gejala amnesia sejarah!(*)
NASYIATUL AISYIYAH
ww.nasyiah.or.id
Melacak Jejak Sejarah
BERDIRINYA
NASYlATUL AISYlYAH juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan rentang sejarah
Muhammadiyah sendiri yang sangat memperhatikan keberlangsungan kader penerus
perjuangan. Muhammadiyah dalam membangun ummat memerlukan kader-kader yang
tangguh yang akan meneruskan estafet perjuangan dari para pendahulu di
lingkungan Muhammadiyah.
Gagasan
mendirikan NA sebenarnya bermula dari ide Somodirdjo, seorang guru Standart
School Muhammadiyah. Dalam usahanya untuk memajukan Muhammadiyah, ia menekankan
bahwa perjuangan Muhammadiyah akan sangat terdorong dengan adanya peningkatan
mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para muridnya, baik dalam bidang
spiritual, intelektual, maupun jasmaninya.
Gagasan Somodirdjo ini digulirkan datam bentuk
menambah pelajaran praktek kepada para
muridnya, dan diwadahi dalam kegiatan bersama. Dengan bantuan Hadjid,
seorang kepala guru agama di Standart School Muhammadiyah, maka pada tahun 1919
Somodirdjo berhasil mendirikan
erkumputan yang anggotanya terdiri dari para remaja putra-putri siswa
Standart School muhammadiyah. Perkumputan tersebut diberi nama Siswa Praja
(SP). Tujuan dibentuknya Siswa Praja adatah menanamkan rasa persatuan,
memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Pada
awalnya, SP mempunyai ranting-ranting di sekolah Muhammadiyah yang ada, yaitu
di Suronatan, Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali anggota SP
Pusat memberi tuntunan ke ranting-ranting. Setelah lima bulan berjalan,
diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan dalam SP. Kegiatan SP
Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang Musholla Aisyiyah Kauman).
Kegiatan SP Wanita adatah pengajian, berpidato, jama'ah subuh, membunyikan
kentongan untuk membangunkan umat Islam Kauman agar menjalankan kewajibannya
yaitu shalat shubuh, mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan
keputrian.
Perkembangan
SP cukup pesat. Kegiatan- kegiatan yang dilakukannya mulai segmented dan
terklasifikasi dengan baik. Kegiatan Thalabus Sa'adah diselenggerakan untuk
anak-anak di atas umur 15 tahun. Aktivitas Tajmilut Akhlak diadakan untuk
anak-anak berumur 10-15 tahun. Dirasatul Bannat diselenggarakan dalam bentuk
pengajian sesudah Maghrib bagi anak-anak kecil. Jam'iatul Athfal dilaksanakan
seminggu dua kali untuk anak- anak yang berumut 7-10 tahun. Sementara itu juga
diselenggarakan tamasya ke luar kota setiap satu butan sekali.
Kegiatan
SP Wanita merupakan terobosan yang inovatif dalam metakukan emansipasi wanita di
tengah kultur masyarakat feodal saat itu. Kultur patriarkhis saat itu
benar-benar mendomestifikasi wanita dalam kegiatan-kegiatan rumah tangga. Para
orang tua seringkali melarang anak perempuannya keluar rumah untuk
aktifitas-aktifitas yang emansipatif. Namun dengan munculnya SP Wanita, kultur
patriarkhis dan feodal tersebut bisa didobrak. Hadirnya SP Wanita sangat
dirasakan manfaatnya, karena SP Wanita membekali wanita dan putri-putri
Muhammadiyah dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan.
Pada
tahun 1923, SP Wanita mulai diintegrasikan menjadi urusan Aisyiyah.
Perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1924, SP Wanita telah mampu
mendirikan Bustanut Athfal, yakni suatu gerakan untuk membina anak taki-laki
dan perempuan yang berumur 4-5 tahun. Pelajaran pokok yang diberikan adalah
dasar-dasar keislaman pada anak-anak. SP Wanita juga menerbitkan buku nyanyian
berbahasa Jawa dengan nama Pujian Siswa Praja. Pada tahun 1926, kegiatan SP
Wanita sudah menjangkau cabang-cabang di luar Yogyakarta.
Pada
tahun 1929, Konggres Muhammadiyah yang ke-18 memutuskan bahwa semua cabang
Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP Wanita dengan sebutan Aisyiyah Urusan
Siswa Praja. Pada tahun 1931 dalam Konggres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta
diputuskan semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus memakai bahasa Arab atau bahasa Indonesia, karena cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Jawa sudah banyak yang
didirikan (saat itu Muhammadiyah telah mempunyai cabang kurang lebih 400
buah). Dengan adanya keputusan itu, maka nama Siswa Praja Wanita diganti
menjadi Nasyi'atul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi Aisyiyah.
Tahun
1935 NA melaksanakan kegiatan yang semakin agresif menurut ukuran saat itu.
Mereka mengadakan shalat Jum'at bersama-sama, mengadakan tabligh ke berbagai
daerah, dan kursusadministrasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktifitas
yang tidak wajar dilaksanakan oleh wanita pada saat itu.
Pada
Konggres Muhammadiyah ke-26 1938 di Yogyakarta diputuskan bahwa Simbol Padi
menjadi simbol NA, yang sekaligus juga menetapkan nyanyian Simbol Padi sebagai
Mars NA. Perkembangan NA semakin pesat pada 1939 dengan diselenggarakannya
Taman Aisyiyah yang mengakomodasikan potensi, minat, dan bakat putri-putri NA
untuk dikembangkan. Selain itu, Taman Aisyiyah juga menghimpun lagu-lagu yang
dikarang oleh komponis-komponis Muhammadiyah dan dibukukan dengan diberi nama
Kumandang Nasyi'ah.
Pada
masa sekitar revolusi, percaturan politik dunia yang mempengaruhi Indonesia
membawa akibat yang besar atas kehidupan masyarakat. Organisasi NA mengalami
kemacetan. NA hampir tidak terdengar lagi perannya di tengah-tengah masyarakat.
Baru setelah situasi mengijinkan, tahun 1950, Muhammadiyah mengadakan Muktamar
untuk mendinamisasikan gerak dan langkahnya. Muktamar tersebut memutuskan bahwa
Aisyiyah ditingkatkan menjadi otonom. NA dijadikan bagian yang diistimewakan
dalam Aisyiyah, sehingga terbentuk Pimpinan Aisyiyah seksi NA di seluruh level
pimpinan Aisyiyah. Dengan demikian, hat ini berarti NA berhak mengadakan
konferensi tersendiri.
Pada
Muktamar Muhammadiyah di Palembang tahun 1957, dari Muktamar Aisyiyah
disampaikan sebuah prasaran untuk mengaktifkan anggota NA yang pokok isinya
mengharapkan kepada Aisyiyah untuk memberi hak otonom kepada NA. Prasaran
tersebut disampaikan oleh Baroroh. Selanjutnya pada Muktamar Muhammadiyah di
Jakarta pada tahun 1962, NA diberi kesempatan untuk mengadakan musyawarah
tersendiri. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh NA dengan
menghasilkan rencana kerja yang tersistematis sebagai sebuah organisasi.
Pada
Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1963 diputuskan status otonom untuk NA. Di
bawah kepemimpinan Majetis Bimbingan Pemuda, NA yang saat itu diketuai oleh Siti Karimah mulai
mengada-
kan
persiapan-persiapan untuk mengadakan musyawarahnya yang pertama di Bandung.
Dengan didahului mengadakan konferensi di Solo, maka berhasillah NA dengan
munasnya pada tahun 1965 bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah
di Bandung. Dalam Munas yang pertama kali, tampaklah wajah-wajah baru dari 33
daerah dan 166 cabang dengan penuh semangat, akhirnya dengan secara
organisatoris NA berhasil mendapatkan status yang baru sebagai organisasi
otonom Muhammadiyah.
Prinsip
Gerakan NasyiatulAisyiyah, sering juga
disebut Nasyiah, adatah organisasi otonom dan kader Muhammadiyah yang merupakan
gerakan putri Islam yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan dan
keputrian.
Tujuan organisasi ini ialah membentuk pribadi
putri Islam yang berarti bagi agama, keluarga dan bangsa menuju terwujudnya
masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai oleh Allah. Pencapaian tujuan
tersebut dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut:
1.Menanamkan
Al-Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Hadis sesuai dengan jiwa Muhammadiyah
kepada anggota-anggotanya sebagai dasar pendidikan putri dan sebagai pedoman
berjuang.
2.Mendidik
anggota-anggotanya agar memiliki kepribadian putri Islam.
3.Mendidik
anggota-anggotanya untuk mengembangkan ketrampilan dan keaktifannya sebagai
seorang putri serta mengamalkannya sesuai
dengan tuntunan Islam.
4.Mendidik
dan membina kader-kader pimpinan untuk kepentingan agama, organisasi dan
masyarakat.
5.Mendidik
anggota-anggotanya untuk menjadi mubalighat motivator yang baik.
6.
Meningkatkan fungsi Nasyiah sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal
usaha Muhammadiyah/Aisyiyah.
7.Membina
ukhuwah Islamiyah.
8.Usaha-usaha
lain yang sesuai dengan tujuan
organisasi.
Jaringan Struktural NA
Susunan
organisasi NA dibuat secara berjenjang dari tingkat Pimpinan Pusat, Pimpinan
Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan tingkat Ranting. Pimpinan Pusat
adalah kesatuan wilayah- wilayah dalam ruang lingkup nasional PimpinanWilayah
adalah kesatuan daerah-daerah dalam tingkat propinsi atau daerah tingkat I.
Pimpinan Daerah adalah kesatuan cabang-cabang dalam tingkat kabupaten/kota.
Sedangkan Pimpinan Cabang adalah kesatuan ranting-ranting dalam satu kecamatan.
Pimpinan Ranting adalah kesatuan anggota-anggota dalam satu sekolah, desa/
kelurahan atau tempat lainnya. Saat ini, Nasyiatul Aisyiyah telah menjangkau
seluruh wilayah Indonesia.
Cita-cita
Nasyiah 2020
Nasyiatul Aisyiyah periode 2004-2008
mencanangkan cita-cita NA2020. Pada tahun 2020 diharapkan NasyiatulAisyiyah
mampu mewujudkan:
1.Kualifikasi
kader bangsa dan kader umat yang berpikir terbuka, memiliki etos kerja yang
tinggi, istigomah, dan komitmen yang tinggi terhadap perjuangan dan dakwah
Islam amar makruf nahi munkar.
2.
Organisasi Nasyiah menjadi organisasi yang profesional, berkembang secara
kuantitas sesuai dengan pengembangan dan pemekaran wilayah Indonesia serta
memiliki pengaruh terhadap dunia nasional maupun internasional.
3.
Berbagai sumber pembelajaran untuk keluarga (family learning centre), antara
lain berupa lembaga yang memberikan perlindungan dan pendampingan terhadap
permasalahan anakdan perempuan.
Isu-isu
Strategis NA
1.Sistem
dan pengelolaan organisasi yang efektif dan responsif terhadap situasi
lingkungan keluarga, masyarakat, negara dan internasional.
2.
Jaringan struktur Nasyiatul Aisyiyah sampaitingkat cabang dan ranting yang
kuat.
3.
Ideologi jender dan responsif jender perspektif NasyiatulAisyiyah
4.
Kuantitas dan kualitas kader Nasyiah yang memiliki komitmen dan serta
kemampuan berorganisasi.
5.
Pengembangan fundrising demi kemandirianorganisasi.
6.
Pendampingan anak dan perempuan putus sekolah, perempuan miskin baik secara
ekonomi, ketrampilan maupun spiritual, dengan berbasis lokalitas.
7.
Keterlibatan Nasyiatul Aisyiyah datam upaya
resolusi konflik berbasis SARA.
8.
Media bagi syiar Nasyiatul Aisyiyah
9.
Penyiapan kader Nasyiah untuk peran
pengambilan kebijakan publik.
PROGRAM NASYlATUL AISYlYAH ARAH DAN KEBlJAKAN BIDANG PROGRAM
Kebijakan NA (2008-2012) diarahkan pada:
"Pemantapan dan pengembangan sistem organisasi yang efektif dan
peningkatan capacity building kader Nasyiah dalam menggerakkan aksi-aksi
pendampingan terhadap permasalahan perempuan dan anak." Sebagai tolak ukur
bahwa arah periode ini tepat sasaran, maka disusunlah beberapa indikator
capaian tahapan sebagai berikut:
- Terbentuknya kader Nasyiatul Aisyiyah yang
memiliki ketrampilan utama (core skill) dan kemampuan (capability) sebagai agen
peru bahan datam berdakwah dan bermasyarakat.
- Terwujudnya sistem organisasi yang efektif
dan sustainable dari aspek manajemen dan administrasi, kepemimpinan, pendanaan,
komunikasi, serta pengelolaan program dan evaluasinya.
- Menguatnya peran advokasi non-litigasi
Nasyiah metalui gerakan aksi pemberdayaanperempuan dan anak.
Kebijakan ini diterjemahkan dalam
bidang-bidang garap program Nasyiah. Bidang program merupakan bidang
garapan/gerak program- program Nasyiatul Aisyiyah yang mengacu pada AD/ART
pasal 2, bahwa Nasyiatul Aisyiyah adalah organisasi otonom dan kader
Muhammadiyah, merupakan gerakan putri Islam, yang bergerak di bidang
keperempuanan, kemasyarakatan, dan keagamaan. Karenanya bidang garap NA adalah
bidang keorganisasian, bidang keislaman, bidang kaderisasi, dan bidang
kemasyarakatan.
Tujuan dan strategi tiap-tiap bidang tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Bidang keorganisasian
Tujuan:
a. Terciptanya efektifitas sistem organisasi, media
komunikasi dan informasi dalam rangka menguatan eksistensi dan jaringan Nasyiah
secara internal maupun eksternal.
b. Meningkatnya kinerja pimpinan serta aktifitas anggota
Nasyiatul Aisyiyah sebagai gerakan perempuan dan dakwah Islam amar makruf nahi
munkar.
Strategi sistem
organisasi, media komunikasi dan
informasi yang efektif:
a.Meningkatkan efektivitas koordinasi dan komunikasi di
setiap tingkat pimpinan dalam melaksanakan program organisasi.
b. Mengoptimalkan media informasi agar dapat menjadi sarana
publikasi dan komunikasi baik untuk kepentingan internal maupun eksternal.
c. Mengembangkan
jalinan kerjasama dan fundrising Nasyiatul Aisyiyah dengan lembaga lain di
dalam dan luar negeri.
d. Meningkatkan efektifitas pelaksanaan
mekanisme dan kebijakan organisasi
e. Menguatkan jaringan struktur intern NasyiatulAisyiyah.
Strategi
kinerja pimpinan:
a.
Meneguhkan komitmen pimpinan dalam
berdakwah Islam metalui Nasyiatul Aisyiyah
b.
Meningkatkan ketrampilan pimpinan dalam mengelola program sehingga terwujud
kelompok kerja yang kokoh, profesional berlandaskan nilai-nilai Islam,
c.
Memperluas akses bagi anggota NA untuk meningkatkan pengetahuannya metatui
program kerja sama dengan pihak lain.
2.
Bidang Kaderisasi
Tujuan:
Terwujudnya
kader Nasyiah yang dapat menghimpun, mengembangkan, dan mendayagunakan potensi
untuk aktif dalam menggerakkan masyarakat berdasar nilai-nilai Islam.
Strategi:
a.
Menjadikan Sistem Perkaderan Nasyiatul Aisyiyah sebagai pedoman pendidikan
kader dalam mentranformasikan nilai-nilai ideologis gerakan.
b.
Mengintensifkan pembinaan potensi kader bagi keberlanjutan gerak organisasi.
c.
Meningkatkan peran kepeloporan dan kepemimpinan kader di dalam membantu
memecahkan permasalahan masyarakat.
3.
Bidang Keislaman
Tujuan:
Ditransformasikan
dan dilaksanakannya nilai-nilai Islam dalam pemikiran, sikap, dan perilaku di
dalam kehidupan pribadi, masyarakat berbangsa, dan bernegara.
Strategi:
a.
Memantapkan ideologi Muhammadiyah para anggota Nasyiatul Aisyiyah agarmempunyai
kematangan beragama dalam berfikir,
berorganisasi dan berperilaku.
b. Mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam
mensikapi berbagai persoalan yang dihadapi ummat, khususnya masalah keluarga,
perempuan dan anak-anak
c.
Meningkatkan kemampuan berdakwah anggota NA dalam rangka syiar Islam.
4.
Bidang Kemasyarakatan
Tujuan:
a.Peningkatan gerak Nasyiah dalam mela kukan
pendampingan terhadap persoalan
perempuan dan anak, utamanya dalam
aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
b.
Pengembangan kepedulian NasyiatulAisyiyah dalam politik, budaya, kesehatan, dan
lingkungan.
Strategi pendampingan ekonomi, sosial, dan pendidikan:
a.
Meningkatkan ketrampilan para anggota Nasyiah dalam membantu menyelesaikan
masalah-masalah ekonomi, sosial, dan pendidikan, yang dihadapi perempuan.
b.
Meningkatkan efektifitas peran NasyiatulAisyiyah dalam pengambilan
kebijakanpublik yang sensitif jender.
c.
Memberdayakan potensi ekonomi masyarakat lokal.
d.
Meningkatkan sensitivitas jender di lingkungan NasyiatulAisyiyah.
e.
Membangun NA sebagai gerakan belajar
bagi perempuan, anak, dan keluarga khususnya pada sektor pendidikan non
formal.
Strategi pengembangan kepedulian terhadap masalah politik,
kesehatan dan lingkungan:
a.
Mengembangkan peran anggota Nasyiah dalam upaya-upaya resolusi konflik yang
ditimbulkan oleh proses demokratisasi, integrasi sosial, budaya dan agama di
tingkatannya masing-masing.
b.
Meningkatkan kepedulian anggota Nasyiatul Aisyiyah terhadap isu kesehatan
reproduksi dalam keluarga.
c.
Membangun kesadaran anggota Nasyiatul Aisyiyah terhadap kelestarian lingkungan
hidup.
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar
Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah,
bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang
diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba
dan khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. 'Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
b. Akhlak
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
c. Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
d. Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
"BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"
(Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)
Catatan:
Rumusan Matan tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah:
1. Atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta;
2. Disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta.
2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. 'Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
b. Akhlak
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
c. Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
d. Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
"BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"
(Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)
Catatan:
Rumusan Matan tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah:
1. Atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta;
2. Disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta.
Timeline Muhammadiyah
Tahun 1921 - 1930
1921
· Terbentuk cabang
baru di luar residensi Yogyakarta yaitu di Blora (27 November), Surabaya (27
November), dan Kepanjen (21 Desember).
· 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda (2 September 1921).
· Pendirian sekolah
guru Muhammadiyah yang sederajad dengan Kweekschool milik pemerintah. Nama
sekolah itu Pondok Muhammadiyah.
· Sejak tahun ini,
jasa besar Fakhruddin adalah keberhasilannya dalam merintis Majalah Soeara
Moehammadijah untuk dijadikan sebagai majalah resminya Hoofdbestuur
Muhammadiyah di bawah naungan Bagian Pustaka. Selain itu, dia juga berjasa
dalam merintis pendirian Percetakan Persatuan sebagai percetakan milik Muhammadiyah.
Melalui percetakan itulah kemudian publikasi gerakan Muhammadiyah dalam bentuk
majalah, berita tahunan, almanak dan buku-buku diterbitkan dan disebarluaskan
ke daerah-daerah.
· Fakhruddin pergi
ke tanah suci Makkah. Ada dua hal yang dikerjakannya, yaitu melaksanakan ibadah
haji dan menjalankan tugas yang diberikan Hoofdbesttur Muhammadiyah untuk
menyelidiki sistem perjalanan jamaah haji Indonesia guna diperbaiki. Missi itu
dijalankan karena kondisi sistem perjalanan jamaah haji Indonesia yang berlaku
saat itu sangat jelek dan merugikan umat Islam Indonesia. Dalam menjalankan
tugasnya itu, dia berkesempatan menghadap Raja Syarif Husein untuk membicarakan
perbaikan sistem perjalanan jamaah haji Indonesia dan sekaligus memperkenalkan
gerakan Muhammadiyah. Bahkan ia juga berperan besar dalam perintisan
pembentukan Persaoedaraan Djamaah Hadji Indonesia (PDHI).
· Algemeene
Vergadering X di Yogyakarta.
1922
· 12 April. Dibentuk
Bagian Aisyiyah atau Muhammadiyah Istri yang bertanggung jawab dalam kegiatan
khusus kaum wanita.
· Jaavergadering XI
Muhammadiyah di Yogyakarta.
· Pada bulan
Oktober, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di
Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi
baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut,
Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di
bawah pimpinan Syeikh Ahmad Surkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum
Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang
aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun
mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga
dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum
ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut,
Ahmad Dahlan menjawabnya, “Muhammadiyah berusaha/bercita-cita mengangkat agama
Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi
tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada
Qur’an dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya
melalui kitab-kitab tafsir”.
· Kegelisahan
pikiran Sutan Mansur yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran
Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan Ahmad
Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu,
akhirnya ia tertarik untuk bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah (1922),
dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam di Pekalongan bersama para pedagang dari
Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah. Ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah
tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk-beluk
hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada
upaya nyata untuk mengamalkannya. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota
Muhammadiyah menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat Iedul Adha dan
membagi-bagikannya pada fakir miskin.
· Pendirian sekolah
dasar yaitu Sekolah Angka 1 dengan nama HIS Met de Qur’an.
· Nama besar Fakhruddin
ternyata tercatat di berbagai peristiwa besar di negeri ini. Ketika diadakan
Konggres al-Islam Hindia I di Cirebon tahun 1922, dia diangkat menjadi Commite
Pengusaha Pendiri Majlis Al-Islam Hindia.
1923
· 23 Februari /7
Rajab 1340 K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia.
· Perkoempoelan
Tahoenan XII Muhammadiyah di Yogyakarta.
· Kweekschool
Muhammadijah dipecah menjadi Mu’allimin dan Mu’allimat.
· Perkoempoelan
Tahoenan (kemudian menjadi Congres) Muhammadiyah di Jogjakarta memilih K.H.
Ibrahim sebagai Ketua Pengurus Besar. Beliau menjabat sampai Congress ke-23 di
Jogjakarta tahun 1934. K.H. Ibrahim berhasil mendorong berdirinya Koperasi
Adz-Dzakirat.
· Pendirian rumah
sakit pertama di Yogyakarta kemudian diikuti pendirian rumah sakit di Bandung,
Sepanjang, Surabaya, Ujungpandang (Makassar), Semarang, dan Banjarmasin.
1924
· K.H. Ibrahim
mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak
miskin.
· Berdirinya Panti
Asuhan pertama.
· Kongres XIII
Muhammadiyah di Yogyakarta.
1925
· K.H. Ibrahim juga
mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan
perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah
juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa
· Percetakan
Persatuan mulai dapat beroperasi.
· Rapat Besar
Tahunan XIV di Yogyakarta.
· Berdirinya rumah
miskin pertama.
· Fakhruddin
menggerakkan pawai ummat Islam untuk memprotes kebijakan residen Yogyakarta
yang terlalu menganakemaskan misi dan zending Kristen. Efeknya, ummat Islam
sadar akan jatidirinya sebagai golongan yang mayoritas.
1925
· Terjadi ancaman
dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di Ranah Minang pada
akhir 1925. Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan
menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau.
1926
· Kongres
Muhammadiyah ke-15 di Surabaya,
· Haji Soedjak
membentuk Bagian Penolong Haji.
· Berangkatnya Mas
Mansur dan H.O.S. Tjokroaminoto ke Arab sebagai utusan Hindia
· Kiprah politik
Fakhruddin melalui SI hanya dapat bertahan sampai tahun 1926, karena adanya
kemelut di kalangan anggota SI yang kemudian mengeluarkan peraturan disiplin
partai, yaitu pelarangan rangkap keanggotaan bagi anggota SI. Berkaitan dengan
peraturan tersebut, Fakhruddin memilih untuk tetap di Muhammadiyah. Fakhruddin
juga dikenal sebagai seorang demonstran yang cukup terkenal. Bersama-sama
dengan Suryopranoto (yang dikenal dengan sebutan stakings koning atau raja pemogokan),
dia pernah menggerakkan demonstrasi buruh perkebunan tebu untuk menuntut hak,
kehormatan, dan upah yang wajar. Oleh karenanya, ia pernah dituntut di
pengadilan dengan dikenai denda 300 Gulden.
· Fakhruddin juga
dipilih oleh Konggres al-Islam Hindia dan Commite Chilafat sebagai utusan untuk
datang ke Konggres Chilafat di Mesir. Oleh karena Konggres Chilafat tersebut
ditunda, dia tidak jadi berangkat.
· Terbentuknya
Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah (GKPM) di Malang dan Garut.
· Antara 1926-1929
Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.
1927
· Sutan Mansur
bersama Fakhruddin melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan
dan Aceh.
· Kongres
Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan
1928
· Fakhruddin
meninggal dalam usia muda, sekitar 39 tahun, tanggal 28 Februari 1929.
· Muhammadiyah
mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu‘allimin,
Mu‘allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang
kemudian di kenal dengan ‘anak panah Muhammadiyah’ (AR Fachruddin, 1991).
· Pada Kongres
Muhammadiyah ke-17 di Jogjakarta yaitu pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim,
Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku
sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu
itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala
mengkultuskan beliau.
· Sutan Mansur
berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan
peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum
mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam
pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan
pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang
tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika
Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi
pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang maghrib.
1929
· Kongres
Muhammadiyah ke-18 di Surakarta.
· Sutan Mansur
berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas,
Mendawai, dan Amuntai.
1930
· Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi (14-26 Maret 1930). Kongres ini memutuskan
bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil HB Muhammadiyah yang dinamakan
Konsul Muhammadiyah.
·
Berdirinya Muhammadiyah cabang Merauke.
Muhammadiyah
Muhammadiyah
|
|
Pembentukan
|
18 November 1912
|
Jenis
|
Organisasi Masyarakat Islam
|
Tujuan
|
Keagamaan dan sosial (Islam)
|
Kantor pusat
|
1. Jl. Cik Dik Tiro, Kota Yogyakarta, DIY, Indonesia
2. Jl. Menteng Raya, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia |
Wilayah layanan
|
|
Keanggotaan
|
35 juta
|
Ketua Umum
|
|
Situs web
|
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Daftar isi
- 1 Sejarah
- 2 Organisasi
- 2.1 Jaringan Kelembagaan
- 2.2 Pembantu Pimpinan Persyarikatan
- 2.3 Organisasi Otonom
- 2.4 Daftar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
- 3 Pranala luar
- 4 Amal Usaha
- 5 Rujukan
- 6 Bacaan lanjut
- 7 Lihat pula
- 8 Pranala luar
Sejarah
Pusat Dakwah
Muhammadiyah di Jakarta
Pimpinan Pusat
Muhammadiyah di Yogyakarta
Organisasi Muhammadiyah didirikan
oleh K.H. Ahmad
Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[1]Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya,banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu'allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
Beliau memilih " Muhammadiyah" sebagai nama Persyarikatan tersebut, karena memang beliau mengidolakan tokoh pembaharu dari Mesir bernama Muhammad Abduh.Jadi nama "Muhammadiyah" sebetulnya nisbat pada Muhammad Abduh, seorang cendekia dari Mesir, penulis Majalah Al-Manar.Banyak pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh yg menginspirasi K.H. Achmad Dahlan. Pada masa kepemimpinan beliau(1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.
Organisasi
Jaringan Kelembagaan
- Pimpinan Pusat, Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta. Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibukota Jakarta. Struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010 - 2015 terdiri dari lima orang Penasehat, seorang Ketua Umum yang dibantu dua belas orang Ketua lainnya, seorang Sekretaris Umum dengan dua anggota, seorang Bendahara Umum dengan seorang anggotanya.
- Pimpinan Wilayah, setingkat Propinsi, terdapat 33 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
- Pimpinan Daerah, setingkat Kabupaten/ Kotamadya.
- Pimpinan Cabang, setingkat Kecamatan.
- Pimpinan Ranting, setingkat Pedesaan/Kelurahan
- Pimpinan Cabang Istimewa, untuk luar negeri.
Pembantu Pimpinan Persyarikatan
- Majlis
- Majelis Tarjih dan Tajdid
- Majelis Tabligh
- Majelis Pendidikan Tinggi
- Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
- Majelis Pendidikan Kader
- Majelis Pelayanan Sosial
- Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
- Majelis Pemberdayaan Masyarakat
- Majelis Pembina Kesehatan Umum
- Majelis Pustaka dan Informasi
- Majelis Lingkungan Hidup
- Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
- Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
- Lembaga
- Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
- Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan
- Lembaga Penelitian dan Pengembangan
- Lembaga Penanggulangan Bencana
- Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah
- Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
- Lembaga Seni Budaya dan Olahraga
- Lembaga Hubungan dan Kerjasama International
Organisasi Otonom
Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom, yaitu:- 'Aisyiyah (Wanita Muhammadiyah)
- Pemuda Muhammadiyah
- Nasyiatul Aisyiyah (Putri Muhammadiyah)
- Ikatan Pelajar Muhammadiyah
- Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
- Hizbul Wathan (Gerakan kepanduan)
- Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Perguruan silat)
Daftar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
No.
|
Foto
|
Nama
|
Dari
|
Sampai
|
Tempat
Musyawarah
|
Keterangan
|
1.
|
Rapat
Tahun ke-1
|
|||||
2.
|
Rapat
Tahun ke-12
|
|||||
3.
|
Rapat
Tahun ke-23
|
|||||
4.
|
Rapat
Tahun ke-26
|
|||||
5.
|
Muktamar
Darurat
|
|||||
6.
|
Muktamar
Ke–32
|
|||||
7.
|
Muktamar
Ke–34
|
|||||
8.
|
Muktamar
Ke–35
|
|||||
9.
|
Muktamar
Ke–34
|
|||||
10.
|
Fait
Accompli
|
|||||
Muktamar
Ke–38
|
||||||
11.
|
Muktamar
Ke–42
|
|||||
12.
|
Muktamar
Ke–43
|
|||||
13.
|
Sidang
Tanwir & Rapat Pleno
|
|||||
Muktamar
Ke–44
|
||||||
14.
|
||||||
Amal Usaha
Amal usaha Muhammadiyah terutama bergerak di bidang Pendidikan serta layanan Kesehatan dan Sosial dalam wadah Pembina Kesejahteraan Umat (PKU), yaitu:- Pendidikan [2]
- TK/TPQ, jumlah TK/TPQ Muhammadiyah adalah sebanyak 4623.
- SD/MI, jumlah data SD/MI Muhammadiyah adalah sebanyak 2604.
- SMP/MTs, jumlah SMP/MTs Muhammadiyah adalah sebanyak 1772.
- SMA/SMK/MA, jumlah SMA/MA/SMK Muhammadiyah adalah sebanyak 1143.
- Perguruan Tinggi Muhammadiyah, jumlah Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah sebanyak 172.
- Kesehatan:
- Rumah Sakit, jumlah Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/ Aisyiyah yang terdata sejumlah 72 [3].
- Balai Kesehatan Ibu dan Anak
- Balai Kesehatan Masyarakat
- Balai Pengobatan
- Apotek
- Sosial
- Panti Asuhan Yatim
- Panti Jompo
- Balai Kesehatan Sosial
- Panti Wreda/ Manula
- Panti Cacat Netra
- Santunan (Keluarga, Wreda/ Manula, Kematian)
- BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah)
- Rehabilitasi Cacat
- Sekolah Luar Biasa
- Pondok Pesantren
Tentang Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi
ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga
Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW. Latar belakang KH
Ahmad Dahlan memilih nama Muhammadiyah
yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum adalah
untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk
memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam
sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan
untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik.
Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan
kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan
diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal
sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek
School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin _khusus
laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat
Muhammadiyah_khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena
berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara
terminologi berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid,
bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan dengan latar belakang
berdirinya Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama,
faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an
dalam menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor
obyektif di mana dapat dilihat secara internal dan eksternal. Secara
internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagiab besar umat Islam
Indonesia.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi
munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah
berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi
aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan
yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif.
Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau
mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di
muka bumi ini.
Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan al-Qur’an
dan as-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan
aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di segala
bidang, sehingga menjadi rahmatan li al-‘alamin bagi umat, bangsa dan dunia
kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang
diridhai Allah swt dalam kehidupan di dunia ini. Misi Muhammadiyah adalah:
(1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah swt
yang dibawa oleh Rasulullah yang disyariatkan sejak Nabi Nuh hingga Nabi
Muhammad saw.
(2) Memahami agama dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa
ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan
yang bersifat duniawi.
(3) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai
kitab Allah yang terakhir untuk umat manusia sebagai penjelasannya.
(4) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan
masyarakat. Lihat Tanfidz Keputusan Musyawarah Wilayah ke-39 Muhammadiyah
Sumatera Barat tahun 2005 di Kota Sawahlunto
Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Keinginan dari KH. Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat
dijadikan sebagai alat perjuangnan dan da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf
nahyi munkar yang bersumber pada Al-Qur’an, surat Al-Imron:104 dan surat
Al-ma’un sebagai sumber dari gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan
tauhid.
Ketidak murnian ajaran islam yang dipahami oleh sebagian umat islam
Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara tradisi islam dan
tradisi lokal nusantara dalam awal bermuatan faham animisme dan dinamisme.
Sehingga dalam prakteknya umat islam di indonesia memperlihatkan hal-hal yang
bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran islam, terutama yang berhubuaan
dengan prinsif akidah islam yag menolak segala bentuk kemusyrikan, taqlid,
bid’ah, dan khurafat. Sehingga pemurnian ajaran menjadi piliha mutlak bagi umat
islamm Indonesia.
Keterbelakangan umat islam indonesia dalam segi kehidupan menjadi sumber
keprihatinan untuk mencarikan solusi agar dapat keluar menjadi keterbelakangan.
Keterbelakangan umat islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber utama
keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa selamanya dianggap
menjadi sumber lahirnya generasi baru muda islam yang berpikir moderen.
Kesejarteraan umat islam akan tetap berada dibawah garis kemiskinan jika
kebodohan masih melengkupi umat islam indonesia.
Maraknya kristenisasi di indonesia sebegai efek domino dari imperalisme
Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama islam. Proyek kristenisasi satu
paket dengan proyek imperialalisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain
keinginan untuk memperluas daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil
refolusi industeri yang melada erofa.
Imperialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilya gerejawan dan para
penginjil untuk menyampaikan ’ajaran jesus’ untuk menyapa umat manusia
diseluruh dunia untuk ’mengikuti’ ajaran jesus. Tetapi juga membawa angin
modernisasi yang sedang melanda erofa. Modernisasi yang terhembus melalui model
pendidikan barat (belanda) di indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan
moernisasi erofa, seperti sekularisme, individualisme, liberalisme dan rasionalisme.
Jika penetrasi itu tidak dihentikan maka akan terlahir generasi baru islam yang
rasionaltetapi liberal dan sekuler.
1. Faktor Internal
Faktir internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat islam
sendiri yang tercermin dalam dua hal, yaitu sikap beragama dan sistem
pendidikan islam.
Sikap beragama umat islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan
sebagai sikap beragama yang rasional. Sirik, taklid, dan bid’ah masih
menyelubungai kehidupan umat islam, terutama dalam lingkungan kraton, dimana
kebudayaan hindu telah jauh tertanam. Sikap beragama yang demikian bukanlah
terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu, tetapi merupakan warisan
yang berakar jauh pada masa terjadinya proses islamisasi beberapa abad
sebelumnya. Seperti diketahui proses islamisasi di indonesia sangat di
pengaruhi oleh dua hal, yaitu Tasawuf/Tarekat dan mazhab fikih, dan dalam
proses tersebut para pedagang dan kaum sifi memegang peranan yag sangat
penting. Melalui merekalah islam dapat menjangkau daerah-daerah hampir
diseluruh nusantara ini.
2.
Faktor
eksernal
Faktor lain yang melatarbelakangi
lahirnya pemikiran Muhammadiah adalah faktor yang bersifat eksternal yang disebabkan oleh politik penjajahan
kolonial belanda. Faktor tersebut
antara lain tanpak dalam system pendidikan kolonial serta usaha kearah
westrnisasi dan kristenisasi.
Pendidikan kolonial dikelola oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak bumi
putra, ataupun yang diserahkan kepada misi and zending Kristen dengan bantuan
financial dari pemerintah belanda. Pendidikan demikian pada awal abad ke 20
telah meyebar dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas, yang
terdiri dari lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga
pendidikan colonial terdapatlah dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu
pendidikan islam tradisional dan pendideikan colonial. Kedua jenis pendidikan
ini dibedakan, bukan hanya dari segi tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga
dari kurikulumnya.
Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah
colonial, dan dalan artian ini orang menilai pendidikan colonial sebagai
pendidikan yang bersifat sekuler, disamping sebagai peyebar kebudayaan barat.
Dengan corak pendidikan yang demikian pemerintah colonial tidak hanya menginginkan
lahirnya golongan pribumi yang terdidik, tetapi juga berkebudayaan barat. Hal
ini merupakan salah satu sisi politik etis yang disebut politik asisiasi yang
pada hakekatnya tidak lain dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik
penduduk asli Indonesia kedalam orbit kebudayaan barat. Dari lembaga pendidikan
ini lahirlah golongan intlektual yang biasanya memuja barat dan menyudutkan
tradisi nenekmoyang serta kurang menghargai islam, agama yang dianutnya. Hal
ini agaknya wajar, karena mereka lebih dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan
kebudayaan barat yang sekuler anpa mengimbanginya dengan pendidiakan
agama konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat yang demikianlah tankanya yang
dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi islam diawal abad ke 20.
Sejarah Muhammadiyah
|
Masjid Bersejarah
|
PROLOG
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib
dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan
jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau
tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan
pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para
pedagang.Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar